Kerupuk adalah sejenis makanan ringan yang dikonsumsi sebagai pelengkap makanan pokok berupa nasi atau lainnya. Kerupuk pada umumnya dibuat dari adonan tepung tapioka dicampur bahan perasa seperti udang atau ikan. Meski ada juga yang tanpa campuran apa-apa, kecuali garam. Secara umum proses pembuatan kerupuk dilakukan dengan cara mengukus adonan sampai matang, kemudian dipotong tipis-tipis, dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering kemudian digoreng. Namun ada juga dari adonan tepung tersebut yang kemudian dibentuk menggunakan mesin sehingga seperti segumpal mi yang saling membelit.
Dari sekian banyak jenis kerupuk sebagai kuliner lokal, salah satu yang terkenal adalah Kerupuk Abang Ijo (Bang Jo) lantaran biasanya berwarna merah (abang) dan hijau (ijo), meski ada juga yang berwarna kuning dan putih. Kerupuk Bangjo menjadi ciri khas kuliner Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, meski nama resminya adalah “Kerupuk Klenteng” dan sudah dipatenkan. Kerupuk Klentheng sudah diproduksi sejak tahun 1929. Pabrik kerupuk Klenteng hanya ada di Bojonegoro.
Dinamakan Kerupuk Klenteng, karena lokasi pabriknya dekat dengan Klenteng Hok Swie Bio, tempat ibadah Tri Dharma. Pabrik Krupuk Klenteng ini berlokasi di Jalan Jaksa Agung Suprapto Nomor 132, Bojonegoro.
Literatur tentang sejarah krupuk nyaris tidak dapat ditemukan. Sebuah artikel yang ditulis oleh Randy Wirayudha di laman historia.id memberikan gambaran sekilas mengenai sejarah kerupuk di nusantara. Disebutkan, salah satu jenis kerupuk itu bernama Kerupuk Aci. Kerupuk bulat dan berwarna putih itu terbuat dari olahan singkong atau terkenal dengan sebutan “aci” dalam bahasa Sunda. Bahan utama kerupuk ini adalah singkong yang jumlahnya berlebih di Jawa khususnya pada abad ke-19. Pada masa itu singkong menjadi salah satu komoditas pangan yang paling diandalkan oleh masyarakat Jawa. “Singkong bisa direbus, digoreng atau dijadikan gaplek, kemudian diolah menjadi tepung dan jadi aci. Dan salah satu produk dari singkong ya kerupuk,” ujar sejarawan kuliner Fadly Rahman sebagaimana dikutip dalam artikel tersebut.
Diduga kerupuk aci baru muncul pada abad ke-19, sehingga masyarakat Indonesia saat itu bertahan hidup dengan kerupuk. Masyarakat terpaksa memanfaatkan kerupuk sebagai bahan pangan pokok karena wilayah tersebut mengalami defisit pangan akibat perang dan bisa jadi tanam paksa. Tepung singkong dimanfaatkan sebagai kerupuk dan dijadikan lauk bagi rakyat biasa. Tepung singkong diolah lalu dicetak kemudian dijemur dan akhirnya digoreng. Rakyat Indonesia yang kurang berpunya hanya bisa menyantap kerupuk sebagai lauk. Sebab bahan makanan seperti daging sangat minim, dan jikalau ada di pasar harganya sangat mahal. Fadly juga memaparkan, tahun 1930-an hingga 1940-an masyarakat sangat kekurangan bahan pangan. Masyarakat hanya bisa makan dari kerupuk dan nasi, selain itu juga olahan bahan pangan yang murah seperti singkong.
Menurut Fadly Rahman kerupuk sudah ada di Pulau Jawa sejak abad ke-9 atau 10 yang tertulis di prasasti Watukura. Di situ tertulis kerupuk rambak (kerupuk dari kulit sapi atau kerbau) yang sampai sekarang masih ada dan biasanya jadi salah satu bahan kuliner krecek.
“Itu tercatat dalam naskah Melayu karya Abdul Kadir Munsyi saat menyebut Kuantan (Malaysia), sekitar abad 19, dia juga membahas keropok (kerupuk). Kerupuk mulai disukai di mancanegara sedari masa kolonialisme Hindia Belanda dan dianggap jadi pelengkap yang harus ada dalam berbagai kuliner Nusantara yang mereka santap,” kata Fadly kepada historia.id.
Anton Indarno adalah generasi keempat dari generasi penerus industri Kerupuk Klenteng di Bojonegoro yang didirikan oleh Tan Tjian Liem. Antonlah yang membuat logo, kemasan, dan branding yang jauh lebih modern, termasuk mendaftarkan ke hak paten merek Kerupuk Klenteng tersebut. bahkan penggunaan internet untuk promosi. Penetapan hak paten itu didapatkan tahun 2013 dengan memajang logonya di semua tas plastik kemasan kerupuk legendaris tersebut. Tetapi semangat kearifan lokal tumbuh dan mengakar di bisnis ini dengan penggunaan nama ‘abang-ijo’ yang masih melekat pada merek yang dibawa.
Bahan–bahan yang digunakan kualitasnya bagus juga sudah bersertifikat sehat dari BPOM sehingga tidak menimbulkan efek-efek yang dapat merusak tubuh. Berbeda dengan produk-produk kerupuk lain yang dikhawatirkan memakai bahan sintetis yang dapat memicu kanker. Proses produksi kerupuk Klenteng memang tanpa menggunakan bahan kimia sama sekali. Karena itu memiliki rasa yang unik khas Bojonegoro yaitu gurih alami (gulami). Bukan hanya soal rasa, namun bentuk dan ukurannya pun masih tetap dipertahankan sebagaimana dulu diproduksi pertama kali.
Bahan pokok kerupuk sebetulnya hanya menggunakan tepung tapioka biasa yang dijual umum ditambah air dan sedikit garam. Tidak ada campuran apapun, sejak dulu hingga sekarang. Apalagi bahan artifisial seperti vetsin untuk menciptakan rasa gurih misalnya. Dia juga tidak menggunakan bahan pemutih kimia untuk memunculkan warna putih.
Kerupuk Klenteng memiliki bentuk yang lebih tebal dan lebih padat dibanding kerupuk pada umumnya karena tidak menggunakan bahan pemekar ketika digoreng. Warnanya juga tidak terlalu putih karena memang tidak menggunakan bahan pemutih. Juga tidak gampang melempem, dan tidak keropos. Ada yang mengatakan, kalau kerupuk lainnya, baru dimasukkan mulut saja sudah hancur. “Menurut pengalaman saya, makin padat kerupuk semakin gurih rasanya,” ujar Anton.
Sama seperti kerupuk pada umumnya, tidak ada yang istimewa sebagai bahan dasar kerupuk Klenteng, yaitu tepung tapioka, garam dan pewarna makanan. Tidak ada bahan racikan warisan keluarga atau hal-hal yang dirahasiakan. Yang jelas bahan baku yang digunakan berkualitas super yang memiliki karakter tersendiri. Disamping itu pengetahuan bahan juga sangat penting. “Kalo karakter tersendiri tersebut diproses tersendiri ya jadinya produk tersendiri. Itulah rahasianya,” ujar Anton.
Penggunaan minyak dalam produksi kerupuk Klenteng hanya minyak Filma curah, nyaris tidak menyisakan jelantah. Karena itu digunakan dua wajan sekaligus dalam proses penggorengan untuk menciptakan hasil yang maksimal. Tapi kalau kerupuk udang yang tipis-tipis itu misalnya, digoreng hanya menggunakan satu wajan saja ya bisa juga. Namun untuk kerupuk Klenteng, bisa saja hanya digoreng menggunakan satu wajan, tapi kurang mekar. Kecuali bahan kerupuknya sudah menggunakan bahan pemekar kimia. Karena itu kalau ada kerupuk yang katanya dijamin mekar tanpa dijemur lebih dulu, itu pasti pakai pemekar. Sedangkan kerupuk Klenteng sebagai kerupuk kuno yang sudah diproduksi sejak tahun 1929 sama sekali tidak menggunakan bahan campuran kimia apapun, sebagaimana zaman dulu memang tidak ada. (*)






